The concern with physical beauty is, in the end, a search of love-Barbara Hendricks.
Saya tidak pernah mempelajari secara mendalam arti kata feminisme. Waktu feminisme diajarkan di kelas waktu kuliah di komunikasi dulu juga saya tidak pernah memperhatikan (kebiasaan buruk saya adalah menciptakan dunia imajinasi sendiri di tengah berlangsungnya kelas...atau pidato...atau pelajaran teori yang panjang... hasilnya: saya ngga dapet pelajaran2 yang berharga itu...dan setiap ujian saya terpaksa belajar lagi otodidak atau minta2 diajarin sama temen). Tapi bukan berarti saya tidak peduli dengan sesama kaum saya, kaum feminim, itu.
Hari ini saya baru saja selesai membaca artikel tentang Lolo Ferarri, seorang wanita yang meninggal pada usia 30 tahun, yang selama hidupnya yang singkat tersebut telah menjalani hampir 30 kali operasi untuk mengubah penampilannya, namun sayangnya ia tetap tidak puas pada tubuhnya. Salinan artikel majalah Cosmopolitan Indonesia (Agustus 2001) tentang wanita bernama asli Eve Valois ini diberikan oleh teman saya. Saya juga ngga ngerti kenapa dia kasih saya artikel ini, mungkin karna saya suka bilang ke dia kalo saya pengen lebih kurus dari saya yang sekarang ini, mungkin dia khawatir dan takut saya mengalami hampir semacam BDD (Body Dysmorphic Disorders).
Saya yakin saya ngga mengalami BDD, tapi saya akui saya pernah ada dalam masa-masa di mana saya meyakini bahwa kalau saya mau bahagia, saya harus cantik (physically)... dan itu salah banget... pada akhirnya saya menemukan kebahagiaan itu saya temukan dari hal-hal yang kelihatannya sederhana tapi ternyata penting banget...yaitu dengan menerima dan menjadi diri sendiri apa adanya (ini bukan berarti kita ngga menghargai diri kita sendiri dengan merawat diri dan menjaga badan dan berdandan loh...), menerima orang lain apa adanya (dengan ngga menghakimi orang lain baik secara fisik maupun perilaku mereka, karena saya belajar: terkadang kita ngga tau... kesedihan/penderitaan apa yang dialami orang lain, yang membuat dia melakukan hal-hal tertentu/tampil seperti dia saat itu), dan terakhir dengan banyak-banyak belajar firman Tuhan (baca Alkitab ngga otomatis menjadikan saya orang suci, saya masih orang berdosa yang meminta bantuan Tuhan untuk semakin mengerti tentang kasih dan sebagainya, tapi yang pasti saya ini sangat suka baca... terus saya pikir: apa artinya kalau sepanjang hidup saya baca seratus ribu buku kali seratus, tapi saya ngga pernah baca habis Alkitab?... That’s when I started my journey in reading the Book, verse by verse, page by page; and that’s when I finally understood what life is all about, and the meaning of it and how to live it righteously).
Kembali ke Lolo Ferari, sangat menyedihkan kalau baca riwayat hidup dia yang dituturkan di artikel majalah itu. Di situ dikatakan bahwa dia sangat menderita, dia mencari kebahagiaan melalui penampilan fisik dia, dan dia (tentu saja) ngga mendapatkan kebahagiaan itu.
Di situ dikatakan bahwa dia memiliki luka masa kecil. Untuk menggambarkan masa kecilnya, berikut ini saya kutip perkataan dia di majalah Cosmopolitan Indonesia tersebut dan sedikit kisah masa lalunya:
”Ibu selalu bilang saya jelek dan bodoh”, kata Lolo. ”Saya ingin jadi ahli anestesi tetapi mana mungkin bisa tercapai dengan ibu yang terus mencela kita? Sebenarnya saya sangat mirip dengan Ibu. Tetapi sialnya dia merasa dirinya tidak cantik. Waktu saya lahir, ia memandang saya dan melampiaskan semua perasaan sebalnya pada saya. Ia melakukan berbagai cara untuk menghentikan hidup saya.”
Masih saya kutip dari majalah tersebut, dikatakan bahwa ayah Lolo, adalah seorang perwira senior pada proyek energi nuklir Prancis yang sering selingkuh. Akibatnya sang istri jadi tambah depresi. ”Ibu mengira menikahi pangeran impian. Kenyataannya, justru pangeran itu berselingkuh di depan matanya,” kata Lolo.
Dikatakan bahwa Lolo memakai 15 cincin di jemari, aneka kalung dan gelang, hal ini dikarenakan ia tidak bisa mengubah kulitnya, sehingga ia berusaha menutupinya dengan perhiasan. Ia merasa perlu menyembunyikan dirinya yang sebenarnya (karena ia tidak menyukai tubuhnya), ia bahkan tidak sanggup tampil tanpa makeup. Ia sering merasa depresi dan ingin bunuh diri.
Juga lebih lanjut dikatakan bahwa setelah kematian Lolo, Eric--suami sekaligus manajer Lolo yang menolak berbicara mengenai Lolo kecuali bila dibayar—mengungkapkan bahwa Lolo sempat mengunjungi ahli pemakaman dan memilih peti mati warna putih dan minta dikubur bersama boneka teddy kesayangannya. Ternyata di balik penampilannya, tersimpan jiwa gadis kecil yang kesepian dan sendiri.
Setelah membaca fakta tersebut, saya coba pejamkan mata saya, dan merasakan bagaimana rasanya menjadi Lolo, pasti menderita banget...gadis kecil yang akhirnya tumbuh menjadi wanita yang selalu merasa dirinya tidak berharga...yang memandang tidak berharga dirinya sendiri...yang membenci dirinya...semata-mata berakar dari tertanamnya kata-kata yang merendahkan dan jahat semasa kecilnya.
Pasti sedih dan sepi sekali rasanya jadi gadis kecil itu, ngga ada orang yang mengatakan dan mengajarkan bahwa yang berharga dari seseorang itu adalah hatinya...hatinya... hati seseorang. Kemudian datang Eric, suaminya, yang ’seolah-olah’ menawarkan kasih sayang, namun pada akhirnya ia menjerumuskan Lolo ke dunia bisnis tubuh dan membawanya ke berbagai operasi plastik yang tak berujung.
Yah... menurut saya setiap bacaan itu punya efek dan arti yang berbeda-beda bagi tiap2 orang...bagaimana pemaknaannya tergantung/dipengaruhi oleh pengalaman2 dan karakter pembacanya...buat saya pribadi, dari artikel itu saya kembali diingatkan betapa jahatnya kata-kata kita bisa menghancurkan hidup seseorang. Apalagi kalau orang yang kita lontarkan kata-kata yang merendahkan/menghancurkan itu adalah anak kecil atau orang yang rapuh dan mudah terpengaruh. Saya mengajak semua orang, untuk sama-sama (saya juga masih dalam tahap berusaha...tears...tears...), mulai sekarang, lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata yang kita ucapkan dan berhenti mengucapkan kata-kata yang menjatuhkan orang, yang menghancurkan citra diri orang lain...kata-kata seperti itu BUKAN kritik yang membangun.
Pernah mengalami kejadian-kejadian tidak enak di masa kecil yang setelah kita pikir-pikir mungkin menjadi kerikil di dalam kepribadian kita saat ini? Saya pernah. Pernah punya keinginan dan kemudian ditentang oleh semua orang di sekitar anda? Dikatakan anda tidak mampu melakukannya? Sehingga anda merasakan ketakutan, sendirian dan frustasi? Saya pernah. Tapi, masa-masa itu sudah lewat dalam hidup saya (God really saved me at those times of my life), dan saya bisa dengan lega saat ini mengatakan: ’It’s none of my business what others say or think of me.’ Saya setuju dengan perkataan yang mengatakan bahwa: Opinion is the cheapest commodity. Prinsip saya dalam hal ini adalah I must do what I have to do in order to do what I want to do, disregards of others’ opinion, I just let me free from opinions….when I need advice, I’ll seek it from someone who I really look up to and that someone must have the capability on giving advices (aduh jadi Bahasa Inggris deh…dan saya bukan bule…tapi, buat saya, kadang-kadang rasanya canggung memakai bahasa Indonesia untuk hal-hal yang maknanya dalem).
Kalau kita pernah merasakan ngga enaknya dan sakitnya dan hancurnya akibat kata-kata orang yang menjatuhkan kita, seharusnya kita juga ngerti, gimana memilih-milih kata, supaya setiap kata-kata yang keluar dari mulut kita ngga membunuh citra diri orang lain, seperti kita pernah memiliki citra diri yang salah akibat perkataan orang lain. Karena sebetulnya, pada akhirnya, semua orang butuh cinta, semua orang butuh di kasihi, kalau kita mau merasakan kasih, kita juga harus memberikan kasih.
Memikirkan efek kata-kata kita kepada orang lain sebelum kita mengeluarkan kata-kata tersebut adalah juga salah satu wujud perbuatan Kasih.
Itu aja yang mau saya bagi dari pengalaman saya setelah baca kisah Lolo Ferarri, semoga berguna dan tanpa bermaksud jadi pendeta kecil ;p ...Cheers!! -WH.
No comments:
Post a Comment