Thursday, July 10, 2008

DILARANG BERPIKIR

Bagaimana jika ada undang-undang yang isinya berupa larangan bagi masyarakat untuk bersifat atau berpikir dengan cara tertentu, misalnya dilarang bersifatpikir pesimis, dilarang bersifatpikir MALAS, dilarang bersifatpikir licik, dsb. Dengan mengubah sifat dasar masyarakat, negara dapat diubah menjadi negara yang lebih baik bukan?.
Jika bisa ada , kemudian terpikir sanksi apa yang dapat diberikan terhadap peraturan semacam itu? Bagaimana membuktikan atau membaca isi pikiran orang??
Ha..ha..ha...walaupun logikanya apa yg tidak bisa dibuktikan tidak bisa dihukum, ....tapi bukannya tidak mungkin loh di Indonesia ada rancangan peraturan seperti itu, buktinya bukankah ilmu gaib atau santet menyantet saja berencana akan di atur di KUHP??
Yah...jangan sampai deh ada peraturan seperti itu... bisa2 setiap senin pagi kantor polisi penuh dengan orang2 seperti saya yang malas masuk kerja..

DREAMS

Dreams have only one owner at a time. That's why dreamers are lonely. Erma Bombeck

Saya teringat salah satu film berjudul “The Election” yang dibintangi oleh pemeran perempuan Reese Whitterspoon dan pemeran laki-laki…. (saya lupa siapa…terkenal kok pemeran laki2nya…kalo ada yang tau?? boleh kasih koment). Di film itu diceritakan tentang seorang siswi Senior High yang pintar dan sangat ambisius, biar lebih enak saya ceritakan terlebih dahulu ya tantang karakter Reese di sini…dia digambarkan sebagai tokoh yang perfeksionis, pintar, ambisius, sedikit licik dan dominan. Reese adalah golongan anak pintar yang selalu ingin menang di setiap kompetisi, mengikuti berbagai organisasi, selalu memiliki nilai2 bagus, dan ia temasuk orang yang selalu ingin menjadi yang terbaik di setiap kesempatan; oleh karena itu banyak orang yang tidak menyukainya, yah ...lebih tepat lagi adalah siapa sih yang menyukainya? padahal wajahnya cantik (hmmh...itu sih tidak perlu diragukan, wong pemerannya Reese Whitterspoon kok), namun karena keambiusannya itu, tidak ada orang yang mau menjadi temannya. Reese sendiri nampaknya sadar bahwa ia tidak punya teman, dan ia memang kadangkala merasa kesepian, namun ia tahu betul bahwa kesepian adalah konsekuensi dari cita2nya, dan karena ia lebih mementingkan cita2nya, ia siap untuk menjadi loner. Singkat cerita kemudian diceritakan bahwa Reese pada akhirnya berhasil mendapatkan segala cita2nya, mulai dari ketua osis, beasiswa, dan kemudian menjadi “orang penting”.
Memang di film itu karakter Reese digambarkan sebagai orang yang menyebalkan, dengan segala sifat dominannya dan kepintarannya, namun pribadi orang seperti dia cukup jarang ditemukan di Indonesia (ups...ini kalau menurut saya ya). Jadi kalau saya sih suka dengan karakter Reese. Pribadi yg kuat, pantang menyerah, tau apa yang dia mau...seandainya saja 1/3 dari anak muda kita (termasuk saya dong..) memiliki mentalitas pekerja keras dan mau belajar seperti itu...saya rasa 10 tahun ke depan akan terlihat hasilnya berdampak ke kemajuan bangsa.
Yah...tulisan ini bukan untuk serius kok...saya hanya ingin menyemangati para loner di sana...yang mungkin merasa sendirian dan berbeda dari orang2 di sekitarnya dengan kata2: You are not alone, there are others, sharing the same feeling with you...so keep on going.
Tapi tentu saja akan lebih baik kalau kita bisa:...menjadi ambisius, pintar, mencapai cita2 dan memiliki teman2 yang mengerti dan mendukung apa pun cita2-visi dan misi kita.

-Widia, dalam usaha memajukan semangat temen2 tercinta-

Monday, July 7, 2008

Become What You Want to Be


Let me tell you about a little girl who was born into a very poor family in a shack in the Backwoods of Tennessee. She was the 20th of 22 children, prematurely born and frail. Her survival was doubtful. When she was four years old she had double pneumonia and scarlet fever - a deadly combination that left her with a paralyzed and useless left leg. She had to wear an iron leg brace. Yet she was fortunate in having a mother who encouraged her.
Well, this mother told her little girl, who was very bright, that despite the brace and leg, she could do whatever she wanted to do with her life. She told her that all she needed to do was to have faith, persistence, courage and indomitable spirit.
So at nine years of age, the little girl removed the leg brace, and she took the step the doctors told her she would never take normally. In four years, she developed a rhytmic stride, which was a medical wonder. Then this girl got the notion, the incredible notion, that she would like to be the world's greatest woman runner. Now, what could she mean - be a runner with a leg like that?
At age 13, she entered a race. She came in last - way, way last. She entered every race in high school, and in every race she came in last. Everyone begged her quit! However, one day, she came in next to last. And then there came a day when she won a race. From then on, Wilma Rudolph won every race that she entered.
Wilma went to Tennessee State University, where she met a coach named Ed Temple. Coach Temple saw the indomitable spirit of the girl, that she was a believer and that she had great natural talent. He trained her so well that she went to the Olympic Games.
There she was pitted against the greatest woman runner of the day, a German girl named Jutta Heine. Nobody had ever beaten Jutta. But in the 100-meter dash, Wilma Rudolph won. She beat Jutta again in the 200-meters. Now Wilma had two Olimpic gold medals. Finally came the 400-meter relay. It would be Wilma against Jutta once again. The first two runners on Wilma's team made perfect handoffs with the baton. But when the third runner handed the baton to Wilma, she was so excited she dropped it, and Wilma saw Jutta taking off down the track. It was impossible that anybody could catch this fleet and nimble girl. But Wilma did just that! Wilma Rudolph had earned three Olympic gold medals.

By: Brian Cavanaugh